amp body













RUMAH KAFE JEMBER sejak 2015
Set On New Normal Certified Barista by BNSP LSP KI

KOPI yang baik adalah sehitam IBLIS, panas seperti NERAKA, semurni MALAIKAT, dan manis kaya KAMU

Karena KOPI kita bisa PINTAR

Kedai kecil serasa rumah sendiri, dikelola dengan senyum serta tawa juga dikawal barista tersertifikasi untuk ngopi, ngobrol atau membahas tentang apa saja

buka setiap hari mulai pk 18.00

DALAM PAHIT KOPI TERSELIP MANIS DAN RASA YANG LUAR BIASA
Temukan kami di Our Story | Instagram | Twitter | Facebook | Google | Maps | WAme

Kenduri Sastra Tepi Benua 2025


Kenduri Sastra Tepi Benua


#1 KENDURI SASTRA TEPI BENUA --Program ini digelar oleh Srawung Sastra, mengambil lokasi di pesisir Jember Selatan: Tempurejo, Ambulu, Puger, hingga Kencong. Diskusi sastra menjelma seperti gelombang yang bersahutan; suara para penggerak berpadu, menghadirkan tafsir, membuka cakrawala. Workshop alih wahana sastra menjadi pelayaran baru—puisi berwujud musik, cerita beralih rupa menjadi film pendek, dan prosa menemukan tubuhnya dalam rupa gambar juga komik. Semua mengalir, seolah-olah kata tak lagi sekadar bunyi, melainkan arus yang menyeberangkan imajinasi ke pulau-pulau yang jauh.

Apresiasi buku bacaan untuk para penggerak sastra di sanggar pedesaan adalah inti kenduri ini: lentera yang diserahkan kepada tangan-tangan muda, agar nyala literasi tak padam di jalan berdebu maupun di lorong nelayan. Dari desa, dari tepian benua, sastra bersemi—menjadi jembatan antara warisan leluhur dan masa depan.

Maka, Kenduri Sastra Tepi Benua bukan sekadar acara, melainkan doa yang ditulis dengan tinta ombak, dibacakan oleh angin, dan diwariskan kepada generasi yang haus makna. Sebuah lingkaran diskusi di atas pasir duduk pada perahu —sandek yang sandar, di bawah langit pantai selatan yang memerah. Sesepuh desa bercerita tentang laut dan musim, tentang ikan dan hantu lautnya versi mereka, sementara penyair muda mencoba menangkap esensinya ke dalam bait-bait kontemporer. Ini bukan seminar biasa, tapi semacam ritual pengingatan.


#2 Di tepi benua, di antara bisik angin dan desau ombak, sekelompok pemuda bersiap menggelar sebuah kenduri —yang bukan berisi hidangan lauk dan penganan, melainkan jamuan kata dan cahaya pikiran. Kenduri Sastra Tepi Benua akan hadir sebagai perayaan sederhana namun khidmat: membaca petuah ombak, merunut jejak yang ditinggalkan bumi di bibir laut, dan menafsirkan kehidupan tradisi melalui pembacaan sastra.


#3 Sebuah lingkaran diskusi di atas pasir duduk pada perahu sandek yang sandar, di bawah langit pantai selatan yang memerah. Sesepuh desa bercerita tentang laut dan musim, tentang ikan dan hantu lautnya versi mereka, sementara penyair muda mencoba menangkap esensinya ke dalam bait-bait kontemporer. Ini bukan seminar biasa, tapi semacam ritual pengingatan. Legenda lokal menyebutkan nama ini berasal dari dua kata Bahasa Jawa, “Bende” (gong) dan “Alit” (kecil)—maknanya merujuk pada alat musik kecil yang digunakan sebagai alat komunikasi atau penanda, dan memiliki kaitan historis dengan kisah Dewi Sukesih dari Blambangan, yang mengungsi hingga kawasan ini pada abad ke-17. Narasi rakyat tersebut, walau penting secara etnografis, belum terpetakan secara pasti.


#4 Di pesisir selatan Jawa, Nusa Barong bukan sekadar pulau sunyi. Ia pernah menjadi simpul niaga Asia Timur sejak abad ke-3, ketika sarang walet dari gua-gua karstnya mengalir ke pasar medis dan ritual di Cina. Tradisi lisan menyebut Raja Singasari mengirim sarang walet ke Kaisar Yuan—menandai pulau ini sebagai titik diplomasi dan komoditas.

Namun, di balik batu kapur dan lorong gua, nama “Barong” menyimpan lapisan makna lain. Dalam semantik lokal, ia merujuk pada figur penolak bala, penjaga batas antara dunia nyata dan gaib. Pulau ini diimajinasikan sebagai wilayah makhluk halus, sekaligus simbol perlawanan dan pelarian. Kolonialis Belanda pun pernah memanfaatkan citra mistisnya dalam retorika anti-penyelundup.

Nusa Barong adalah lanskap yang bergerak antara fakta dan mitos, antara peta dagang dan narasi spiritual. Ia menantang kita untuk membaca ulang sejarah visual dan lisan Jawa Timur—bukan hanya dari arsip, tapi dari gema yang masih hidup di tepian.


#5 Dalam Kakawin Negarakretagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca, Kuto Bacok disebut sebagai salah satu wilayah yang dikunjungi oleh Prabu Hayam Wuruk dalam perjalanan keliling kerajaannya pada tahun 1359 M (1281 Saka). Wilayah ini tercatat dalam pupuh 17 dan 18, yang memuat daftar tempat-tempat yang dikunjungi sang raja.

Kuto Bacok disebut bersama dengan daerah-daerah lain seperti Teben, Wuluhan, dan Puger, yang semuanya berada di wilayah timur Jawa, khususnya yang kini dikenal sebagai bagian dari Kabupaten Jember dan sekitarnya. Penyebutan ini menunjukkan bahwa Kuto Bacok memiliki peran penting dalam struktur pemerintahan atau spiritualitas Majapahit saat itu2.

Kuto Bacok adalah salah satu wilayah yang dikunjungi oleh Prabu Hayam Wuruk dalam perjalanan keliling kerajaan Majapahit tahun 1359 M, sebagaimana tercatat dalam Kakawin Negarakretagama karya Mpu Prapanca. Penyebutannya menunjukkan bahwa wilayah ini memiliki peran penting secara spiritual dan administratif, serta menjadi bagian dari jaringan kekuasaan dan kesucian Majapahit di wilayah timur Jawa, khususnya yang kini dikenal sebagai Jember dan sekitarnya.

Di Dusun Payangan, Jember, Pantai Watu Ulo menampakkan batu koral raksasa sepanjang 150 m yang meretas dimensi sakral sekaligus menopang ekonomi nelayan. Tak jauh di selatan, Kuta Bacok—bekas pelabuhan upacara laut abad ke-14—mengendap dalam sunyi, menunggu kebangkitan melalui ekowisata tradisi: naskah klasik diterjemahkan ulang, akses budaya diperbaiki, dan generasi muda diaktualisasi sebagai penjaga warisan.



#6 Pantai Getem bukan sekadar hamparan pasir putih di Jember. Ia adalah tepi dunia, tempat ombak menggertak seperti gigi raksasa—sebuah gema dari kakawin kuno yang menulis laut sebagai ujian jiwa. Nama GETEM, yang dalam Jawa berarti menahan geram, seolah lahir dari keberanian manusia menghadapi samudra selatan yang tak pernah jinak atau nafsu manusia itu sendiri.  

Dalam cerita rakyat, pantai ini disebut sunyi dan angker, dijaga roh laut, tempat orang bersembunyi atau menghilang dari sejarah. Arsip Belanda menandainya dengan ejaan asing— Ghetem, Gethem—sebagai titik kecil di peta perdagangan, pantai keras yang dicatat karena ombaknya berbahaya namun jalurnya tak bisa dihindari.  

Hari ini, Getem berdiri di persimpangan tiga dunia: mitos kakawin, bisik lisan rakyat, dan catatan dingin kolonial. Ombaknya masih sama, pasirnya masih putih, tapi di balik keindahan itu bergetar kisah panjang tentang keberanian, pelarian, dan ingatan yang tak pernah benar-benar hilang.


#7 Paseban (paseban) : păncaniti | pasowan | pawatangan | balerong. Sumber: Dasanama Kawi, Padmasusastra, 1897, #18

paseban : pasewakan, panangkilan, pasowanan, pancaniti, balerong. Sumber: Dasanama, Dwijo, c. 1950, #1268

seba (sebo) : [paseban]: suyasa, witana, watangan, panangkilan, păncaniti, păncakarana, praharana, prahasana, prahasaba, purwasana, pastagi, pasewan, pasowanan K., pasewakan, pawatangan, pamedan, pangayap, balerong, bathu; Sumber: Bausastra: Jarwa Kawi, Padmasusastra, 1903, #11

Tempat atau ruang seba (fisik dan simbolik):

Pamedan – medan atau lapangan tempat tampilnya laku
Pangayap – tempat permohonan atau pengabdian
Witana – singgasana atau tempat luhur
Bathu – tempat duduk atau alas penghormatan
Purwasana – tempat awal mula atau asal muasal
Prahara / Prahasana / Prahasaba – ruang pertimbangan, musyawarah, atau pertemuan agung
Pancakarana – tempat lima jalan atau simpul laku
Pastagi – tempat persembahan atau sesaji
Panangkilan – tempat sambutan atau penerimaan
Pasewakan / Pasowanan – tempat menghadap secara resmi
Balerong / Pawatangan / Păncaniti – ruang utama, tempat pertimbangan, atau tempat hukum

Makna simbolik dan laku spiritual:

Pasowan – laku menghadap dengan tata
Suyasa – tempat yang penuh tata krama
Prahara – ruang ujian atau pertimbangan batin
Prahambana – tempat pengujian atau penyaringan
Pangruwating laku – tempat transformasi atau penyucian diri
Pangayoman – tempat perlindungan atau pengayoman spiritual
Pangruwatan – tempat pembebasan dari dosa atau beban


#8 Di Puger, laut bukan sekadar ladang rezeki—ia juga menyimpan duka.

Setiap musim angin selatan, ombak menggulung seperti raksasa tak berwajah. Di atas perahu kayu yang ringkih, para nelayan berangkat dengan doa dan harapan, menantang gelombang demi sesuap nasi. Tapi tak semua kembali.

Dari tahun ke tahun, nama-nama hilang ditelan samudra: Wasito, Daim, Zainul, Basori, Mistawi, Bahori… enam di antaranya lenyap di 2025, hanya kapalnya yang ditemukan terdampar jauh di Trenggalek.

Pantai Pancer menyimpan jejak kaki yang tak pernah pulang. Dan di rumah-rumah nelayan, tangis sunyi menggantikan suara mesin kapal.

Laut memberi. Laut juga mengambil. 

#9 Laut yang Pernah Menggulung Harapan --Ancaman Tsunami di Selatan Jember

Pada malam 3 Juni 1994, langit di selatan Jawa tampak biasa. Tapi di kedalaman laut, bumi telah retak. Gempa berkekuatan 7,9 Skala Richter mengguncang perairan Banyuwangi, dan dari sana, gelombang raksasa bangkit tanpa ampun.

Tsunami itu menyapu pesisir dengan kecepatan dan kekuatan yang tak terbayangkan. Di Jember, meski bukan pusat bencana, luka tetap terasa. Di Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, 56 rumah hanyut, lenyap bersama malam. Di Puger, 57 perahu nelayan hancur, menyisakan puing dan ketakutan. Laut yang selama ini menjadi sumber hidup, malam itu berubah menjadi sumber duka.

Tak ada sirine. Tak ada peringatan. Hanya suara gemuruh dan jeritan dalam gelap.

Tiga dekade berlalu. Tapi bayang-bayang itu belum sepenuhnya hilang.

Pada Mei 2024, peringatan dini kembali menggema. Zona megathrust di selatan Jember disebut berpotensi memicu tsunami dahsyat. Enam kecamatan pesisir—termasuk Puger dan Ambulu—masuk dalam daftar merah. Empat belas desa berada di garis depan ancaman. Pemerintah bergerak cepat: kentongan dibunyikan, poskamling diaktifkan, warga diajak bersiap.

Namun di balik simulasi dan sosialisasi, ada ketegangan yang tak terucap. Bisakah kita benar-benar siap menghadapi amarah laut?

Pantai selatan bukan sekadar garis biru di peta—ia menyimpan amarah yang sunyi. Di balik debur ombak dan langit yang tenang, gempa bisa memicu gelombang maut dalam hitungan menit. Tsunami tak memberi waktu untuk bertanya, hanya untuk lari. Di Jember, sejarah telah mencatat luka. Kini, ancaman itu bukan kenangan—ia nyata, mengintai dari kedalaman.


@Kementerian Kebudayaan RI 
#kendurisastratepibenua
#penguatankomunitassastra2025
#kementeriankebudayaanri
#srawungsastrajember #amongrasa #amongbudaya #budayajember
#balai_rw_institute #jemberkolektif




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pepatah Jawa - MENANG MENENG NGGEMBOL KRENENG

PT Yamaha Musical Products Indonesia Standardization Staff and Maintenance Staff Needed Pasuruan

Pepatah Jawa Keserimpet Bebed Kesandhung Gelung

Obrolan Seru Pelog Temor, Lengger hingga Ludruk Jember, Sebuah Warisan Budaya yang Masih Bertahan

Kopi Robusta Baban Silosanen Jember Adalah Secangkir Kopi Jawa

Mongso Bediding, Dinginnya Jawa dan Hangatnya Kopi Rempah

Kidungan Wahyu Kolosebo Indonesia Kamu Bisa Melewati Ini Semua

SADUMUK BATHUK SANYARI BUMI DITOHI PATI - Pepatah Jawa

Bajingan, Para Pemandu Sapi dan Pegon Penggerak Perekonomian Masa Lampau